Apakah pandangan ini tidak sama dengan pandangan Sabellius?
Sabellius mengajarkan, bahwa di dalam Perjanjian Lama, Tuhan Allah menampakkan diri-Nya sebagai Bapa dan Pencipta, di dalam diri Yesus, Ia menampakkan diri sebagai Anak dan Penyelamat, dan akhirnya sejak hari Pentakosta, Ia menampakkan diri sebagai Roh Kudus, sehingga Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah penampakan diri Tuhan Allah yang secara berturut-turut. Akan tetapi tidaklah demikian penyataan Tuhan Allah menurut Alkitab. Sejak semula dan untuk selama-lamanya Tuhan Allah menyatakan diri-Nya sebagai pencipta, penyelamat dan pembebas umat-Nya. Sejak di Perjanjian Lama, Tuhan Allah menyatakan diri sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus. Hal itu semuanya diwujudkan dengan sejelas-jelasnya di dalam diri Yesus Kristus, Firman yang menjadi manusia.
Tuhan Allah adalah Bapa, Anak, dan Roh Kudus di dalam karya-Nya sejak semula hingga kini dan untuk selama-lamanya. Tuhan Allah adalah Tritunggal di dalam segala karya-Nya, baik di dalam penjadian, maupun di dalam penyelamatan dan pembebasan. Ia adalah Tritunggal dalam hakekat-Nya sebagai sekutu umat-Nya, dahulu, sekarang, dan untuk selama-lamanya.
Mengenai anggapan adanya persamaan ajaran agama lain dengan ajaran Tritunggal ini, di bawah ini pembahasannya:
Pertama-tama di dalam Agama Hindu ada ajaran yang disebut Trimurti, yang di dalam agama Hindu Jawa disebut ajaran tentang Tri Purusa. Ajaran ini mengajarkan ada tiga bentuk (trimurti) dari zat yang mutlak (Brahman), yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa. Di dalam kitab Mahabharata terdapat suatu ucapan yang masyhur, yaitu bahwa Prajapati menciptakan dalam bentuk Brahma, memelihara dalam bentuk manusia (Wisnu) dan merusak dalam bentuk Rudra, yaitu Siwa yang lain (Mahabharata III, 272, 46). Senada dengan ucapan di atas itu dikatakan mengenai Brahman, yaitu bahwa Brahman memiliki tiga penjelmaan, atma (jiwa perorangan), prakrti (alam) dan Isywara (Tuhan).
Di dalam prakteknya masing-masing mashab Hindu memiliki salah satu dewa menjadi dewanya yang tertinggi, sedang kedua dewa lainnya menjadi penjelmaannya, umpamanya mashab Siwa menganggap Siwa sebagai dewa yang tertinggi, yang identik dengan Brahman, dan yang kemudian demi kepentingan penciptaan, pemeliharaan dan pengrusakan, menjelma sebagai Brahma, Wisnu, dan Rudra.
Menurut keyakinan Hindu, dewa yang tertinggi, baik ia disebut Brahman, maupun Siwa, atau Wisnu, atau sebutan yang lain, dipandang sebagai Zat yang Mutlak, yang bebas dari segala hubungan dan sifat, yang tidak dapat ditembus oleh akal manusia. Jadi semacam tabiat ilahi dari Plato. Tokoh ini adalah zat yang transenden, yang tidak berbuat dan tidak berkehendak. Sebab seandainya zat ini berkehendak untuk berbuat, ia akan terikat kepada karma dan samsara. Oleh karena itu tokoh yang tertinggi ini memerlukan penjelmaan yang lebih kasar, yang lebih rendah untuk dapat berfungsi sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur segala sesuatu. Itulah sebabnya ia menjelma dalam Brahma, Wisnu, dan Rudra. Ketiga penjelmaan ini dipandang sebagai bersamaan dengan perkembangan proses kosmos dengan hukumnya: lahir, berkembang, dan mati. Akan tetapi di dalam sistem yang mengerjakan, bahwa Brahman tidak terikat kepada pekerjaan, maka penjelmaan ini sebenarnya adalah khayalan belaka. Sebab dilihat dari pihak Brahman, penjelmaan ini tidak ada, penjelmaan ini hanya tampak sebagai penjelmaan jikalau dilihat dari pihak manusia.
Menurut anggapan orang India yang modern (Dr. S. Radhakrishnan), ajaran Trimurti mengajarkan tiga segi atau tiga aspek dari suatu kepribadian ilahi yang kompleks.
Jelas, bahwa pandangan agama Hindu tentang Trimurti atau Tri Purusa ini tiada sangkut-pautnya dengan pandangan Alkitab yang mengungkapkan hakekat Tuhan Allah sebagai Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Bapa, Anak, dan Roh Kudus bukan khayalan manusia, juga bukan khayalan Allah. Ketiga penyataan Allah itu diungkapkan di dalam firman dan karya-Nya di dalam sejarah umat-Nya dan dialami oleh umat Allah sebagai kenyataan yang hidup.
Di dalam tasawwuf (umpamanya ajaran Abd. al-Karim al-Jili), Tuhan Allah dipandang sebagai zat yang mutlak atau zat yang akali secara murni, yang esa dalam arti filsafat, yaitu tanpa bagian dan tidak dibagi-bagi, tanpa sifat dan hubungan. Jadi hampir sama dengan ajaran Hindu mengenai Brahman. Dalam keadaan-Nya yang mutlak itu Tuhan disebut: kabut yang gelap (al-‘ama). Dalam keadaan yang mutlak ini Tuhan dapat disebut juga inti sari zat, yang memiliki aspek atau segi keluar, yaitu ahadiyya, di mana yang mutlak tadi sadar akan dirinya sebagai kesatuan. Ahadiyya ini memiliki dua aspek, yaitu huwiyya (ke-ia-an) yang menandai kesatuan batin, di mana yang mutlak sadar akan diri-Nya sebagai yang tidak jamak, dan aniyya (ke-aku-an), yang mewujudkan ungkapan ke luar dari huwiyya, yaitu kesatuan yang menyatakan diri dalam eksistensi di mana yang mutlak sadar akan diri-Nya sebagai kebenaran dari yang jamak.
Dapat dikatakan, bahwa di sini ada tiga macam kesadaran di dalam Tuhan Allah sebagai Yang Mutlak. Pertama-tama Tuhan sadar akan diri-Nya sebagai kesatuan yang murni dan esa (ahadiyya); kemudian Tuhan sadar akan diri-Nya sendiri sebagai yang mengandung di dalam-Nya yang jamak (huwiyya), dan akhirnya Tuhan sadar akan diri-Nya sebagai yang menyatakan yang jamak (aniyya).
Juga pandangan ini tidak dapat disamakan dengan ajaran Alkitab tentang Allah Tritunggal.
Di dalam Kebatinan Jaya ada satu aliran yang mengajarkan tentang ketritunggalan, yaitu Pangestu. Menurut Pangestu, Tuhan Allah yang Maha Esa itu disebut Tri Purusa, yang artinya: keadaan satu yang bersifat tiga, yaitu: Suksma Kawekas (Tuhan yang Sejati), yang di dalam bahasa Arab disebut Allah ta’ala, Suksma Sejati (Penuntun Sejati atau Guru Sejati), yaitu utusan Tuhan, dan akhirnya Roh Suci yaitu manusia sejati atau jiwa manusia sejati. Demikian disebutkan di dalam Kitab Sasangka Jati. Menurut Dr. Sumantri almarhum, ketiga sifat itu harus diterangkan sebagai tiga faset, dan harus diartikan demikian, bahwa Suksma Kawekas adalah Hidup Pertama dalam keadaannya yang masih tenang, tanpa gerak, tanpa kesadaran, seperti halnya dengan lautan sepi yang tanpa gelombang, atau seperti kata Hamzah Pansuri: seperti laut yang dalam. Suksma Sejati adalah Hidup Pertama dalam keadaannya yang aktif bekerja seperti lautan yang bergelombang. Adapun Roh Suci adalah Hidup Pertama yang melepaskan diri dari Tuhan, seperti halnya dengan titik air yang menguap melepaskan diri dari lautan yang bergelombang tadi, serta yang kemudian dipenjarakan di dalam tubuh.
Menurut Pangesti, Suksma Kawekas sama dengan Allah Bapa di dalam agama Kristen, Suksma Sejati sama dengan Allah Anak dan Roh Suci sama dengan Roh Suci di dalam ketritunggalan agama Kristen. Akan tetapi jelas, bahwa pendapat yang demikian bukan didasarkan atas penyelidikan yang seksama, sekalipun hal itu disebutkan di dalam Kitab Sasangka Jati.
Pertama harus dikemukakan, bahwa Pangestu tidak mengajarkan, bahwa hakekat Tuhan Allah adalah menjadi sekutu umat-Nya.
Kedua, sekalipun Pangestu mengatakan, bahwa Tuhan Allah memiliki tiga faset atau wajah, namun ternyata, menurut keterangan Dr. Sumantri, ketiga faset tadi adalah tiga pangkat dari tabiat ilahi atau ketuhanan yang makin lama makin rendah (lautan sepi yang tanpa gelombang, lautan gelombang, dan titik air yang menguap atau melepaskan diri dari lautan yang bergelombang). Oleh karena itu ajaran Pangesti ini sebenarnya adalah suatu ajaran emanasi, pengaliran ke luar dari zat ilahi, yang pada hakekatnya sama dengan ajaran Hindu tentang Brahman dan ajaran Tasawwuf tentang martabat.
Ketiga, Roh Suci di dalam ajaran Pangestu bukanlah daya ilahi yang dinamis, dengannya Allah hadir berbuat, melainkan bagian zat Allah yang dipenjarakan di dalam tubuh manusia.
Baca Yang lain Tentang Teologi Kristen ===>>> Read More <<<===