Translate this page to the following language!

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified


INSURANCE WORLDWIDE

Informasi Terpanas Tentang Manfaat Asuransi Yang Lagi Menjadi Trending Topik diseluruh Dunia *** Read More ***

PRINCES CELEBRITY WORLDWIDE

Informasi Terpanas Tentang Kehidupan Artis Yang Lagi Menjadi Trending Topik diseluruh Dunia *** Read More ***

PRINCES HISTORY TOUR AND TRAVEL

Informasi Terpanas Tentang Perjalanan Wisata Yang Lagi Menjadi Trending Topik diseluruh Dunia *** Read More ***

PRINCES LOVE GOD

Informasi Terpanas Tentang Kehidupan Rohani Yang Lagi Menjadi Trending Topik diseluruh Dunia *** Read More ***

PRINCES ADVERTISING

Kesempatan Buat Anda yang ingin Memajukan Bisnis dengan Pasang Iklan Secara Gratis dan Dibaca diseluruh Dunia *** Read More ***

Yuk Belajar Jual Beli Dollar

MATI ADALAH KEUNTUNGAN

LOVE GOD - Demi kebenaran kita jgn pernah takut , Tuhan pasti menyertai langkah kita dlm tegakan kebenaran

MATI ADALAH KEUNTUNGAN
3 Januari 2014 pukul 17:35
4 Januari 2014

“Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.” (Filipi 1:21)
Basuki Tjahja Purnama, Wakil Gubernur DKI Jakarta, mendapat “Bung Hatta Award” karena menjadi pejabat yang anti-korupsi. Saat diwawancara dalam acara “Mata Najwa”, ketakutan terbesarnya bukan menjadi orang miskin. “Dulu saya takut mati,” kata Ahok, demikian panggilannya. Dia takut dibunuh oleh koruptor. Akan tetapi demi menegakkan kebenaran, Ahok rela untuk mati. “Mati adalah keuntungan. Kata-kata itu harus dituliskan dalam nisan saya, jika saya mati. Kalau perlu dalam 3 bahasa: Indonesia, Inggris, dan Mandarin,” lanjutnya.

Orang Kristen pasti tahu bahwa Ahok sedang mengutip pernyataan Paulus. Dia menuliskan surat ini dalam kondisi dipenjara dan ada kemungkinan akan dihukum mati. Bagi Paulus, kematian bukan sesuatu yang mengerikan. Kematian merupakan jalan untuk menikmati kemuliaan yang telah disediakan oleh Allah. Meski demikian, orang Kristen kemudian bertindak fatal dengan sengaja menyongsong kematian seperti dilakukan oleh pengebom bunuh diri. Itu bukan ciri orang yang tidak takut mati. Itu adalah tindakan orang yang takut hidup.

Orang Kristen sejati itu berani mati dan berani hidup. Saat masih hidup, kita menggunakan kesempatan itu untuk bekerja keras melakukan kehendak Allah. Dan bila Tuhan memanggil pulang, itu berarti bahwa tugas kita telah berakhir. Kuncinya terletak pada kesadaran bahwa hidup kita ini bukan kita sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam kita (Galatia 2:20). Maka entah kita hidup, atau kita mati, maka kita sama-sama untung.

Dengan semangat ini maka kita memiliki kekuatan untuk melakukan tugas panggilan kita. Risiko apa pun tidak dapat menghalangi kita sepanjang kita mengarahkan pandangan kita hanya kepada Kristus.

Yesus Lahir Sekitar Bulan Juli

Mengenai saat kelahiran Yesus Kristus kedunia, sudah jelas bahwa itu tidak terjadi pada tanggal 25 Desember. Dari fakta pada saat itu ada gembala di padang sudah jelas bahwa itu bukan bulan Desember. Demikian juga bahwa menjelang kelahiran Yusuf dan Maria harus berjalan (bukan naik mobil) dari Nazaret ke Betlehem juga jelas bukan bulan Desember.

Natal
Sesinting-sintingnya kaisar Agustus tidakmungkin memerintahkan sensus, yang mengharuskan setiap orang kembali ke kota kelahirannya, pada bulan Desember. Berbagai Encyclopedia, misalnya The New Book of Knowledge volume 3, halaman 289, dengan terang-terangan menyatakan bahwa tanggal 25 Desember adalah hari penyembahan dewa matahari masyarakat Eropa yang dipungut oleh gereja (Katolik) untuk merayakan hari lahir Yesus. Gereja pada saat itu bukan hanya menetapkan hari kelahiran Yesus pada tanggal 25 Desember bahkan juta menetapkan hari kematian Yesus pada hari Jumat yang sesungguhnya pada hari Rabu1.

Kalau Yesus Kristus tidak dilahirkan pada bulan Desember, lalu pada hari apakah sesungguhnya ia dilahirkan? Ketika gereja Roma Katolik berkuasa pertanyaan ini haram untuk disampaikan. Yang mempertanyakan bisa diin kuisisi (pembunuhan terhadap orang yang bertentangan dengan gereja Roma). Tetapi kini kita hidup di dunia yang bebas bertanya bahkan bebas mengemukakan pendapat kita. Injil Lukas 1:26-27 berbunyi, “dalam bulan yang keenamAllahmenyuruhmalaikat Gabriel pergi ke sebuah kota di Galilea bernama Nazaret, kepada seorang perawan yang bertunangan dengan seorang bernama Yusuf dari keluarga Daud; nama perawan itu Maria.” Singkat cerita, pada bulan keenam malaikat memberitahukan Maria bahwa ia akan segera mengandung seorang bayi. Sangatlah gampang untukmengetahui bulan Yesus lahir karena ia pasti dikandung selama sembilan bulan. Jadi, tinggal hitung saja sembilan bulan kemudian dari bulan keenam itu, maka kita akan dapatkan bulan Yesus Kristus lahir.

Bulan keenam yang ditulis oleh Lukas itu bukan bulan yang kita pakai sekarang, karena bulan yang kita pakai sekarang saat itu belum populer. Tentulah bulan yang dipakai oleh kalangan Yahudi, bukan yang dipakai oleh kalangan lain. Lalu bulan Yahudi itu bulan keenam bandingannya dengan bulan kita sekarang ini bulan apa? Kita lihat Kel.12:1-2 yang berbunyi, “Berfirmanlah TUHAN kepada Musa dan Harun di tanah Mesir: Bulan inilah akan menjadi permulaan segala bulan bagimu; itu akan menjadi bulan pertama bagimu tiaptiap tahun.” Bulan apakah, atau bulan berapakah jika dibandingkan dengan bulan yang kita pakai sekarang? Pada 13:4 dan Ul.16:1 memberitahukan kita bahwa bulan pertama itu adalah bulan Abib, sedangkan nama lain dari bulan Abib ialah bulan Nisan (Es.3:7)., yang jika diseja ja r k a n den gan kalender kita jatuhnya antara Maret dan April. Jadi, enam bulan dari Maret-April itu jatuhnya September-Oktober pada kalender kita.

Pada saat inilah malaikat Gabriel datan g ke kota Nazar et untuk memberitahukan Maria bahwa ia akan mengandung seorang bayi. Kalau Yesus Kristus mulai dikandung sekitar September-Oktober, maka tinggal kita tambahkan saja dengan masa kandungan yang umumnya sembilan bulan maka segera kita dapatkan perkiraan bulan kelahiran Kristus. Dari September-oktober hingga sembilan bulan kemudian tentu jatuhnya pada bulan Juni-Juli. Yesus Kristus lahir pada sekitar bulan Juni-Juli adalah perkiraan yang paling alkitabiah dan paling masuk akal. Pada bulan-bulan tersebut di wilayah Palestina sedang dalamakhir musim semi dan sedang beralih ke musim panas. Pada masa ini adalah saat yang paling tepat bagi masyarakat di sana untuk melakukan perjalanan. Dan tentu sangat masuk akal kalau kaisar Agustus memerintahkan sensus pada saat itu.

Demikian juga dengan kegiatan penggembalaan di padang rumput. Musim semi adalah saat rumput tumbuh subur menghampar di seluruh padang. Mereka biasanya tidur di hamparan rumput sambil memandang bintang. Pada saat kambing domba di giring berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan ke padang rumput, kandang mereka biasanya ditinggal kosong. Masuk akal sekali kalau oleh karena setiap orang kembali kota kelahirannya telah menyebabkan kekurangan tempat menginap sehingga terpaksa Yusuf dan Maria yang berjalan lambat tidak kebagian tempat dan harus menggunakan kandang yang kosong. Dan di kandang kosong itulah, setelah kelelahan bejalan berhari-hari, Maria melahirkan Sang Juruselamat ke dalam dunia ciptaanNya yang tidak mengenalNya.

Sekali lagi, itu bukan bulan Desember, melainkan sekitar bulan Juni-Juli. Merayakan Natal itu tidak diperintahkan, dan juga tidak dilarang. Yang merayakan tidak bersalah, dan yang tidak merayakan juga tidak bersalah. Tetapi meyakini bahwa Kristus lahir pada bulan Desember, dan tanggal 25, tentu adalah kesalahan. Karena tidak tahu persis tanggalnya,maka rayakanlah tanggal berapa saja serta bulan apa saja. Yang terpenting adalah Yesus sungguh lahir di dalam hati kita...

Menilai dan Tak Bisa Dinilai

Tetapi manusia rohani menilai segala sesuatu, tetapi ia sendiri tidak dinilai oleh orang lain. (I Kor.2:15) 

Rasul Paulus mengajarkan suatu kebenaran yang sangat inti dan mutakhir pada jemaat P.B. yang adalah campuran antara Yahudi dengan Helenis. Penempatan Roh Allah ke dalam diri manusia pada zaman P.L. hanya terjadi pada para nabi saja. Faktor inilah yang menyebabkan para nabi memiliki kemampuan supranatural; menubuatkan halhal di depan bahkan melihat hal-hal yang tidak terlihat oleh manusia biasa.
Menilai dan Tak Bisa Dinilai

Rasul Paulus memberitahukan jemaat Korintus bahwa pada zaman P.B. Allah menempatkan RohNya ke dalam diri setiap orang yang menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya (I Kor.3:16). Ketika Roh Allah ditempatkan ke dalam diri manusia P.B. lahir baru, tidak berarti ia memiliki kemampuan nabi P.L., melainkan hanya menjadikannya milik Allah (Ef.1:13), serta memiliki kemampuanmemahami hal-hal rohani. Rasul Paulus berkata, “tetapi manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani.”

Rasul Paulus maumengatakan bahwa hanya orang rohani saja yang mengerti perkara rohani, sedangkan manusia duniawi hanya mengerti hal duniawi. Sementara itu setelah manusia duniawi menjadi manusia rohani, ia masih tetap memiliki kemampuan duniawinya sepertimembaca, berhitung, mengamati perkara politik, ekonomi, hukum, sosial dan lain sebagainya.

Manusia rohani yang masih tinggal di dunia tetap menghidupi kehidupannya sebagaimana manusia duniawi seperti bersaing dalam perdagangan, bersaing dalam kanca politik dan lain sebagainya. Manusia rohani tetap melakukan kegiatan belajar dalam berbagai bidang, mengolah otak yang diberikan Tuhan. Intinya, setelah seorang duniawi menjadi seorang rohani, kemampuan duniawinya tidak berkurang sedikit pun. Yang berubah pada manusia rohani sesungguhnya adalah pandangan hidupnya serta penambahan kemampuan menilai perkata-perkara rohani. Jadi, betapa canggihnya seorang manusia rohani yang juga sangat terpelajar secara duniawi. Secara duniawi ia sebanding atau bahkan lebih mampu dari para manusia duniawi, sementara itu ia juga memiliki kemampuan rohani karena Roh Allah tinggal di dalam dirinya.

Terlebih lagi jika ia mempelajari perkara-perkara rohani yang alkitabiah maka kemampuan duniawi dan rohaninya akan melampaui baik manusia duniawi maupun rohani. Ketika manusia duniawi menjadi manusia rohani oleh berita Injil yang diterimanya, ia perlu mendapatkan pengajaran yang alkitabiah. Alkitab adalah dasar pemikiran manusia rohani, ia adalah tolok-ukur bagi manusia rohani untuk menilai segala sesuatu. Prinsip-prinsip yang ditetapkan di dalam Alkitab plus pengolahan akal sehat adalah yang memampukan manusia rohani menilai segala sesuatu.

Ketika seorang yang telah lahir baru dibesarkan atau dipupuk kerohaniannya dengan pengajaran doktrin yang tidak alkitabiah, maka ia tentu masih cakap menilai perkara-perkara dunia dengan akal sehatnya, namun tidak memiliki kemampuan menilai perkara rohani. Ia tentu lebih canggih sedikit daripada manusia duniawi karena ia memiliki Roh Allah karena ia telah lahir baru, tetapi tidak mampu mengukur secara doktrinal karena pengetahuan doktrinal kekristenannya tidak sesuai dengan Alkitab. Untuk menilai hal-hal doktrinal seorang manusia lahir baru mutlak memerlukan pengetahuan doktrinal yang alkitabiah. Pernah seorang dosen sebuah STT datang bersama beberapa orang ke ruang kerja penulis ingin mempresentasikan pemikirannya.

Ketika ia memulai, ia berkata bahwa menurutnya para theolog dan termasuk dirinya, memahami hal rohani seperti orang buta yang berusaha mengenal gajah. Mendengar pernyataan awalnya, penulis langsung tak berminat mendengarkannya karena ternyata ia tidak memiliki sesuatu yang pasti menurut Alkitab, atau setidak-tidaknya sebuah pemikiran yang diyakininya berdasarkan Alkitab. Sikap kompromistis terhadap kebenaran mengikis kemampuan theolog menilai secara rohani. Penulis juga pernah bertemu dengan “hamba Tuhan” yang sesungguhnya menyadari bahwa pengajaran gerejanya tidak sesuai dengan Alkitab.

Namun karena ia tidak sanggup mengubah, dan juga tidak rela keluar dari gereja tersebut, akhirnya sikap kompromistisnya keluar dengan berkata bahwa salah sedikit tidak apa-apa, yang pentingmasih tetap memiliki hal yang paling pokok yaitu memberitakan Yesus. Sikap kompromistis ini sudah pasti akan menumpulkan kemampuan menilai perkara rohaninya. Sesungguhnya tentu kita jauh lebih bisa memaafkan orang yang salah yang tidak tahu dirinya salah daripada yang tahu dirinya salah namun oleh satu dan lain hal (materi, jasmani dan duniawi) tetap mempertahankan atau membiarkan kesalahan itu.

Sikap demikian adalah sikap yang tidak menempatkan kebenaran di atas segala-galanya dan akan menggerogoti kepekaan seseorang terhadap kebenaran.Orang yang salah namun tidak tahu dirinya salah sangat mungkin akan membela kebenaran ketika ia menemukan kebenaran, sedangkan orang yang tahu kebenaran namun mengabaikannya sedang bersikap negatif terhadap kebenaran. Lalu bagaimanakah cara seorang yang telah lahir baru untuk mengetahui apakah ia sedang di dalam gereja yang alkitabiah? Sebenarnya sangat gampang! Pertama, jangan menutup diri terhadap penjelasan, penguraian bahkan perdebatan doktrinal agar anda tahu dan yakin bahwa doktrin yang anda sedang percayai adalah doktrin yang kokoh kuat yang didasarkan pada Alkitab.

Kebenaran yang tidak berani ditantang untuk diargumentasikan secara fair dan tanpa kekerasan, bukanlah kebenaran. Kedua, apakah doktrin yang anda percayaimendapat dukungan ayat-ayatAlkitab yang cukup? Apakah ada ayat yang menentang keyakinan anda? Contoh, Saksi Yehova tidak percaya bahwa Yesus itu Allah berdasarkan ayat-ayat I Kor.15:23, Kol.1:15-16, tanpa mempedulikan ayat yang menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah Allah (Yoh.1:1-12, I Yoh.5:20 dll.). Ciri khas ajaran sesat ialah mengutamakan ayat tertentu sambil mengabaikan ayat-ayat lain. Padahal kata sulung di situ yang dalam bahasa Yunaninya proto jelas bisa diartikan yang paling awal, dan tentu Allah sendirilah yang paling awal dari semua ciptaanNya. Ketiga, selaras dengan akal sehat.

Doktrin yang alkitabiah bukan hanya harus didasarkan pada ayat-ayat Alkitab melainkan alur-pikirnya juga harus berjalan sistematis. Dalam rangkaian pelajaran theologi, pelajaran Sistematis Theologi adalah yang disebut pelajaran doktrin, bahkan juga disebut the prince of theology. Maukah pembaca menjadi penggenap firman yang disampaikan Rasul Paulus? Manusia rohani menilai segala sesuatu dan ia sendiri tidak dinilai karena manusia duniawi tidak sanggup menilainya, atau pasti akan salah menilainya. Jadilah manusia rohani!

Nyatakan Apa Yang Salah

II Tim.4:1-5 Di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati, aku berpesan dengan sungguh-sungguh kepadamu demi penyataan-Nya dan demi Kerajaan-Nya: Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran. Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. 
Nyatakan Apa Yang Salah

Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng. Tetapi kuasailah dirimu dalam segala hal, sabarlah menderita, lakukanlah pekerjaan pemberita Injil dan tunaikanlah tugas pelayananmu! 

SIKAP TERHADAP ALKITAB 

Banyak orang memperlakukan firman Tuhan secara diskriminatif.Mereka sangat memperhatikan ayat-ayat Alkitab tertentu karena ayat-ayat tersebut sangat cocok dengan keadaan mereka, atau sangat sesuai dengan keinginan hati mereka, atau memihak mereka. Sikap demikian jelas bukan sikap mematuhi firman Tuhanmelainkanmemanfaatkan firman Tuhan untuk kepentingan diri sendiri. 

Ada juga orang Kristen yang bersikap diskriminatif terhadap firman Tuhan karena beda yang mengucapkan atau yang menuliskannya. Perintah Tuhan Yesus yang ditulis oleh Rasul Matius disebut Amanat Agung (Mat.28:19-20) dan sangat diperhatikan sementara perintah Tuhan yang disampaikan melalui Rasul Paulus sebagaimana nats kita di atas dianggap remeh. Jika kita melihat Alkitab sebagai sebuah kitab yang sumbernya satu, yaitu Allah Pencipta langit dan bumi, siapapun yang menjadi penulisnya tidak menjadi masalah karena mereka semuanya mendapatkan ilham dari Allah, maka sepatutnya kita menyikapi semua ayatAlkitab secara sama, artinya semuanya adalah firman Allah yang perlu kita taati. Hanya dengan sikap demikianlah usaha exegesis terhadap ayat-ayat Alkitab berguna untuk dilakukan. 

OTORITAS PEMBERI PESAN 

Rasul Paulus mengharapkan sikap tunduk dan hormat dari Timotius atas pesan yang akan disampaikannya, sehingga Timotius dan semua murid Tuhan akan dengan sungguh-sungguh melaksanakan pesannya. Ungkapan di hadapan Allah dan Yesus Kristus adalah ungkapan yang sangat serius. Allah adalah pencipta langit dan bumi, dan Yesus Kristus adalah Juruselamat yang telahmenyelamatkan kita. Mungkinkah ada murid yang berani membantah atau mengabaikan pesan yang disampaikan di hadapan Allah dan Yesus Kristus? Bahkan Rasul Paulus memberi penekanan yang lebih hebat lagi dengan menunjukkan kuasa Allah dan Yesus Kristus yang akan menghakmi orang hidup dan orangmati. Tidak ada seorang murid pun yang boleh mengelak dari tanggung jawab atas pesan yang disampaikan karena waktu kita masih hidup kita harus melaksanakannya dan nanti pada saat kita mati kita pun masih tetap akan dimintai tanggung jawab atasnya. Jadi, tidak ada satu murid pun yang boleh mengabaikan pesan yang disampaikannya kepada Timotius dan kepada setiap murid Kristus generasi berikut. 

Demi penyataanNya dan demi kerajaanNya, menambah keseriusan pesan yang akan Paulus sampaikan. “Penyataan” itu artinya penyingkapan atau wahyu. Sebagaimana Allah menyatakan banyak wahyu kepada Rasul Paulus, baik wahyu doktrinal maupun misi pemberitaan Injil hingga ke ujung bumi, termasuk kondisi pemberitaan Injil pada akhir zaman. Jadi, demi penyataan atau wahyu yang telah dinyatakan kepada Paulus tentang situasi pemberitaan Injil pada akhir zaman yang akan semakin sulit, dan demi kerajaan Yesus Kristus yang akan didirikan sesudah pemberitaan Injil berakhir, pesan berikut ini disampaikan. 

ISI PESAN 

(1) Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya. Firman apa yang harus diberitakan dalam segala waktu itu? Jawabnya adalah: berita tentang keselamatan bagimanusia melalui penebusan yang dilakukan Yesus Kristus. 

Manusia berdosa yang tadinya harus dihukum ke neraka ternyata mendapatkan kasih Allah sehingga Ia telah mengutus Yesus untuk dihukumkan menggantikan manusia. Hanya ada satu cara untukmenyelamatkan manusia dari akibat dosa, yaitu mengambil alih hukuman yang harus ditanggung manusia. Yesus Kristus telah melakukan tugas tersebut dengan menerima hukuman di atas kayu salib sebagai penjahat terbesar menggantikan manusia berdosa seisi dunia (Ibr.2:9). Setiap orang yang bertobat dan percaya bahwa Yesus telah menggantikannya di hukum dan ia kini sedang menggantikan Yesus hidup, mendapatkan kepastian masuk Sorga. Firman yang agung dan mulia inilah yang dipesankan oleh Tuhan melalui Rasul Paulus untuk diberitakan. 

Beserta dengan berita ini tentu termasuk semua pengajaran doktrinal yang merupakan pengajaran harmonisasi dari Injil Keselamatan. Setelah seseorang diselamatkan, tentu ia harus melanjutkan hidupnya sesuai dengan Alkitab, bukan sesuai dengan mimpi, atau nubuatan kontemporer. Firman tertulis yang telah dikanonkan dalam Alkitab telah final sehingga tidak ada nubuatan yang datang dari Tuhan lagi sesudah Wahyu 22:21. Ketika seseorang diselamatkan Injil, ia juga diperintahkan untuk berjemaat, sehingga ia harus mengenal jemaat yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan Alkitab, karena kini sesungguhnya terdapat banyak jemaat iblis (Wah.2:9, 3:9). Gereja yang memberitakan Injil yang benar adalah jemaat dari Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran (I Tim.3 :1 5 ) . Sebaliknya gereja yang memberitakan Injil yang salah adalah wadah penyesatan, bukan jemaat Allah melainkan jemaat iblis (Wah.2:9, 3:9). 

Berhubung keberadaan jemaat iblis itu sangat membahayakan manusia, karena akan menenggelamkan manusia ke neraka, maka Tuhan menghendaki murid-muridNya dengan gagah beranimenyatakan apa yang salah.Kalau tidak ada orang yang berani menyatakan apa yang salah, maka kelestarian bahkan pertumbuhan jemaat iblis akan semakin pesat, dan tentu akibatkan semakin banyak orang disesatkan. 

(2) Nyatakanlah apa yang salah. Orang Kristen yang diselamatkan, belum segera dibawa ke Sorga tetapi harus bersaksi kepada manusia di dunia ini tentang Injil Keselamatan yang telah menyelamatkannya. Sehubungan dengan tugas ini maka ia perlumemahami Injil bukan sekedar untuk diimani melainkan hingga tahap sanggup menjelaskannya kepada orang lain. Dan juga karena diperintahkan untuk berjemaat, maka ia harus tahu dan turut bertanggung jawab atas jemaat dimana ia menjadi bagian sehubungan dengan seluruh pengajarannya. 

Setiap hal negatif yang terjadi dalam jemaat akan dituntut Tuhan pada setiap anggotanya dan sebaliknya setiap hal positif yang dilakukan jemaat akan dipuji atau dihadiahi Tuhan pada setiap anggotanya. Tuhan menghendaki murid-muridNya dengan gagah berani menyatakan kebenaran dan tentu juga menyatakan segala kesesatan atau kesalahan. Sebelum dunia mengenal kebebasan pers, Tuhan telah memprakarsai kebebasan pers melalui Rasul Paulus bahwa orang Kristen harus menjadi pelopor kebebasan pers. Siapakah dalam sebuah negara demokrasi yang menghendaki pers hanya menulis semua positif dan kebaikan aparat pemerintah namun menyembunyikan kesalahan dan keburukan mereka? Tentu para koruptor akan sangat senang dengan pembungkaman pers agar semua “boroknya” tidak terungkap kepada publik. 

Ketika Tuhan berpesan agar murid-murid- Nya menyatakan apa yang salah, di dalamnya terkandung sebuah niat yang luhur. sebagaimana niat kebebasan mengemukakan pendapat atau kebebasan pers di sebuah negara demokrasi yang bertujuan agar tidak ada orang yang dapat menyembunyikan keburukan. Tuhan menghendaki agar ada kebebasan mengemukakan pendapat atau bahkan ada perdebatan doktrinal agar kebenaran berkumandang sejajar dengan kemampuan pikiran manusia beserta kecintaan hatinya akan kebenaran. Seandainya kebenaran yang kalah sebagai konsekuensi kebebasan mengemukakan pendapat, maka itu apa boleh buat, paling-paling itu menandakan mayoritas manusia zaman itu tidak berpikir dengan baik atau tidak cinta kebenaran. Artinya jika oleh kebebasan mengemukakan pendapat, ternyata kebenaran dikalahkan, maka itu adalah resiko bagi pembela kebenaran.Namun kekalahan ini terhormat dan puas karena kemenangan di dunia adalah sementara sampai kita menghadap Sang Pencipta. 

Sebagaimana di negara demokratis rakyat tidak menghendaki pengekangan kebebasan berpendapat, lebih lagi Tuhan, Sang Pencipta akal budi manusia, tidak menghendaki adanya pengekangan kebebasan pemakaian akal budi yang diciptakanNya. Tuhanmenghendaki agar tiap-tiap orang bebas menyatakan sesuatu yang dinilainya benar dan salah. Lalu bagaimana dengan firman yang mengatakan “jangan kamumenghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. 

Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu (Mat.7:1-2). Kalau pembaca memperhatikan ayat tersebut di atas, sama sekali tidak dilarang untuk menghakimi, melainkan yang menghakimi harus siap dihakimi dengan ukuran yang sama. Kalimatnya, “jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.” Ayat ini tidak bertentangan dengan perintah nyatakan apa yang salah, karena siapa yang berani menyatakan orang lain salah harus siap dikonfirmasi atau diadu berargumentasi, atau dinyatakan salah juga oleh orang lain. Ingat, dalam hal benar-salah cara mendapatkannya bukan dengan adu otot, melainkan adu argumentasi. 

Kalau seseorang siap diukur dengan ukuran yang sama, silakan ia melakukan pengukuran. Dan kalau tidak mau diukur orang lain, atau dihakimi orang lain, ya jangan menghakimi. Dengan kata lain, setiap orang yang berani menyatakan orang lain salah, adalah orang yang siap berargumentasi atau siap dinyatakan salah oleh orang lain. Iblis menghembuskan konsep yang aneh dan mendorong sikap yang aneh di kalangan orang Kristen. Konsep dan sikap aneh ini dibutuhkan iblis sebelum ia mengirim para penyesatnya. Konsep bahwa tidak boleh mengatakan orang lain salah adalah pra-kondisi yang sangat dibutuhkan oleh penyesat agar pengajaran sesatnya tidak diutak-atik atau tidak dinyatakan salah oleh pengajar kebenaran. 

Camkanlah, dan renungkanlah! 

Pengajaran sesat akan sangat gampang ditekel jika konsep demikian dihilangkan dari kepala orang Kristen. Orang Kristen yang kritis tidak gampang disesatkan. Yang gampang disesatkan hanyalah mereka yang bodoh dan yang malas berpikir. Salah menafsirkan Matius 7:1 tersebut di atas telah menciptakan kondisi subur bagi penyesatan. Padahal Tuhan dalam ayat tersebut berbicara tentang penghakiman atas perkara subyektif, misalnya menilai orang cantik atau jelek, baik hati atau jahat, kasih atau benci, bukan menghakimi hal yang bersifat doktrinal. Kita tidak bisa menilai seseorang tentang kasih, karena bagi yang seorang ia kurang kasih, tetapi yang lain ia sangat kasih. Kalau kita mencoba menilai orang atas perkara yang subyektif, maka bersiap-siaplah dinilai kembali dengan ukuran yang sama. Bahkan terhadap kesalahan perbuatan, Tuhan memberi kita prosedur dalam menyatakan apa yang salah dalamMat.18:15-17). 

Pertama kita nyatakan secara empat mata, dan kemudian membawa beberapa teman, dan terakhir sampaikan perkara tersebut kepada jemaat, dan finalnya adalah diusir dari jemaat. Tetapi khusus hal-hal yang bersifat doktrinal, sebagaimana kita memberitakan kebenaran kepada publik demikian juga kita harus membongkar ketidakbenaran kepada publik, tentu harus lengkap dengan alasan-alasan atau argumentasi-argumentasi, atau bukti-bukti. Pers memiliki kebebasan di era demokrasi, tetapi tentu tidak bolehmemfitnah.Ketika pers menyingkap perbuatan korupsi aparat, ia harus memiliki bukti. Kalau dalam hal doktrinal, ketika seseorang berani menyatakan gereja lain salah, dan kalau yang menjadi patokan rujukan adalah Alkitab, maka yang bersangkutan harus menunjukkan ayatnya. 

Tegorlah Dan Nasehatilah Dengan Segala Kesabaran Dan Pengajaran. 

Menegor orang atas kesalahannya baik doktrinal maupun tindakan bukanlah hal yang gampang dilakukan. Fakta juga memberitahukan bahwa tidak ada orang yang suka ditegormaupun dinasehati. Sama seperti tugas menyatakan apa yang salah, yang juga sulit diterima oleh orang yang dinyatakan kesalahannyakesalahannya, maka demikian juga dengan tugas tegor serta nasehat ini yang kalau bisa dihindari pasti akan dihindari oleh murid-murid Tuhan. 

Namun jika setiap murid menghindari tugas ini, maka yang bersukacita adalah iblis beserta antek-anteknya. Suasana subur bagi mereka untuk menyesatkan secara doktrinal maupun merangsang kekacauan moral di antara murid Tuhan akan semakin meningkat. Itulah sebabnya dalam pesan yang sangat serius ini dipesankan agar ada murid yang rela dibenci, bahkan rela dimusuhi, demi menegakkan kebenaran, mau dengan penuh kesabaran menegor dan menasehati. 

Bahkan bukan hanya perlu penuh kesabaran, melainkan juga perlu dengan pengajaran. Ketika kita menegor kesalahan seseorang, adalah tanggung jawab penegor untuk memberikan pengajaran kebenaran. Tidak etis untuk menyatakan seseorang salah tanpa menjelaskan yang benar kepadanya. 
Berani menyatakan apa yang salah, dan mampu menjelaskan apa yang benar. Harapan pencinta kebenaran ialah, dengan berbuat demikian maka kebenaran akan semakin bertumbuh dan kesesatan akan semakin layu. 

Manusia Akan Mencintai Dusta 

Paulus menubuatkan bahwa akan tiba saat dimana manusia tidak suka kebenaran. Mungkin karena kesesatan telah menjadi mayoritas sehingga memiliki kuasa duniawi, atau mungkin manusia telah terlalu bejat sehingga tidak nyaman dengan pemaparan kebenaran, tetapi yang jelas iblis tidak suka akan kebenaran dan akan memakai siapa saja yang tidak waspada dan dengan cara apa saja untuk membungkam kebenaran. 

Manusia akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukakannya untuk dongeng. Gereja yang membiasakan tradisi tukar mimbar untuk mengakomodasi anggota jemaat tanpa lahir baru yang ingin gonta-ganti pengkhotbah dengan alasan bosan adalah fakta penggenapan nubuat Rasul Paulus. Yang diinginkan oleh orang Kristen demikian tentu bukan kebenaran melainkan cerita lucu, dongeng nenek tua, yang membuat mereka tertawa terpingkal-pingkal. Sementara itu orang yang mengajarkan kebenaran apalagi menegur anggota-anggota jemaat yang berdosa, akan dikritik habis-habisan. Tentu tidak mengritik khotbahnya yang keras, tetapi biasanya mencari hal-hal lainnya sebagai entry point untukmembungkampengajarannya yang tegas.

Kuasai Diri & Beritakan Injil 

Tetapi bagi pencinta kebenaran, dan pelayan-pelayan kebenaran, tentu tidak boleh goyah dan sempoyongan, melainkan harus tetap dalam kondisi menguasai diri. Menguasai diri adalah tanda kemenangan sedangkan panik dan apalagi ngamuk adalah bukti kekalahan. 

Sabar menderita adalah modal untuk peperangan jangka panjang. Pengajaran kebenaran harus memiliki cukup stock kesabaran dalam penderitaan, kalau tidak akan sulit untuk bertahan dalam jangka waktu yang panjang. Lakukan pekerjaan pemberita Injil karena jika orang berdosa bertobat dan lahir baru, maka ia akan mencintai kebenaran. Hanya sekedar Kristen, tanpa lahir baru, hanya akan menciptakan orang “Kristen aneh,” yaitu yang tangannya memegang Alkitab namun menentang orang yang mengajarkan Alkitab, tanpa mampu berargumentasi. 

Tentu sebagai murid kita patut dengan setia menunaikan tugas pelayanan yang telah dibebankan ke pundak kita. Apapun tanggung jawab kita, atau bidang dimana kita ditempatkan, Tuhan harapkan agar kita setia menunaikan tugas pelayanan kita.***

Musa Diserang

ORANG Yahudi, orang Kristen, dan Muslim sering kali tidak sependapat tentang banyak hal. Namun, terlepas dari ketidaksepakatan mereka, agama-agama ini memiliki setidak-tidaknya satu persamaan: respek yang dalam terhadap pria yang dikenal sebagai Musa. Orang Yahudi mengakuinya sebagai ”yang terbesar dari semua guru Yahudi”—pendiri bangsa Yahudi. Orang Kristen menganggapnya sebagai pembuka jalan bagi Yesus Kristus. Orang Muslim memandang Musa sebagai salah seorang nabi mereka yang pertama dan terbesar.

Nabi Musa


Jadi, Musa adalah salah seorang pria yang paling berpengaruh dalam sejarah manusia. Meskipun demikian, selama lebih dari seabad, Musa telah diserang oleh kalangan cendekiawan maupun pemimpin agama. Banyak orang tidak hanya menantang kepercayaan bahwa Musa melakukan mukjizat dan memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir tetapi bahkan mengatakan bahwa ia tidak ada. Buku Moses—A Life karya Jonathan Kirsch menyimpulkan, ”Satu-satunya yang dapat kita katakan tentang tokoh sejarah Musa adalah bahwa seseorang seperti pria yang diuraikan dalam Alkitab itu mungkin telah hidup pada suatu masa dan di sebuah tempat yang tidak dapat diketahui jauh di masa lampau, dan kepahlawanannya mungkin hanyalah berupa segelintir pasir yang seperti mutiara diperbesar lapis demi lapis oleh legenda dan kepercayaan turun-temurun selama berabad-abad hingga ia menjadi tokoh yang mengesankan dan kontroversial yang kita baca dalam halaman-halaman Alkitab.”

Sepintas lalu, skeptisisme seperti itu mungkin layak disimak. Misalnya, para kritikus mengomentari bahwa bukti arkeologis telah ditemukan untuk meneguhkan eksistensi tokoh-tokoh Alkitab seperti Raja Yehu dari Israel, tetapi tidak ada bukti arkeologis yang telah ditemukan untuk meneguhkan eksistensi Musa. Namun, hal ini sama sekali tidak membuktikan bahwa Musa hanyalah tokoh mitos. Orang-orang yang skeptis pernah berpendapat bahwa tokoh lain yang disebutkan dalam Alkitab, seperti Raja Belsyazar dari Babilon dan Raja Sargon dari Asiria, juga adalah tokoh mitos—sampai arkeologi belakangan meneguhkan eksistensi mereka dalam sejarah.

Pengarang Jonathan Kirsch mengingatkan kita, ”Sisa dan puing Israel dalam catatan Alkitab begitu langka sehingga sama sekali tidak ditemukannya Musa dalam sumber mana pun selain Alkitab sendiri bukanlah hal yang mengejutkan dan juga tidak bisa dijadikan dasar kesimpulan.” Menurut Kirsch, beberapa orang kemudian berpendapat bahwa kecil kemungkinan Musa hanyalah hasil imajinasi seseorang, karena ”kisah hidup yang begitu kaya dengan perincian dan dialog, begitu kompleks . . . , tidak mungkin dikarang-karang”.

Tidak soal Anda orang beragama atau bukan, kemungkinan besar Anda setidak-tidaknya mengetahui beberapa peristiwa utama dalam kehidupan Musa: pertemuannya dengan Allah di dekat semak yang bernyala-nyala, Eksodus bangsa Israel dari perbudakan di Mesir, terbelahnya Laut Merah. Tetapi, apakah ada alasan untuk percaya bahwa peristiwa-peristiwa ini benar-benar terjadi? Atau, apakah Musa hanyalah seorang tokoh mitologis? Artikel berikut akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sangat menarik ini.
===>>> Baca Selengkapnya Clik disini <<<===

Musa—Tokoh Sejarah atau Mitos?


MUSA lahir sambil dibayang-bayangi kematian. Bangsanya adalah sekelompok keluarga nomadis yang telah menetap di Mesir bersama bapak mereka Yakub, atau Israel, agar luput dari kelaparan. Selama puluhan tahun, mereka telah hidup damai berdampingan dengan tetangga mereka orang Mesir. Tetapi kemudian, terjadi perubahan yang mengerikan. Sebuah laporan sejarah yang disegani mengatakan, ”Bangkitlah atas Mesir seorang raja baru . . . Lalu ia mengatakan kepada bangsanya, ’Lihat! Orang-orang Israel lebih banyak jumlahnya dan lebih perkasa daripada kita. Ayo! Mari kita bertindak dengan cerdik terhadap mereka, agar mereka tidak berlipat ganda.’” Rencananya? Mengendalikan populasi bangsa Israel dengan menjadikan mereka ”budak seraya diperlakukan dengan lalim”, lalu dengan memerintahkan para bidan Ibrani untuk membunuh setiap anak laki-laki yang mereka bantu kelahirannya. (Keluaran 1:8-10, 13, 14) Berkat keberanian para bidan yang menolak menaati perintah itu, orang Israel terus bertambah banyak. Jadi, raja Mesir menitahkan, ”Setiap anak laki-laki yang baru lahir harus kamu lemparkan ke dalam Sungai Nil.”—Keluaran 1:22.

Nabi Musa



Sepasang suami istri Israel, Amram dan Yokhebed, ”tidak takut kepada perintah raja”. (Ibrani 11:23) Yokhebed melahirkan seorang anak laki-laki yang belakangan dilukiskan memiliki ”keelokan ilahi”. * (Kisah 7:20) Barangkali dengan satu atau lain cara, mereka paham bahwa anak ini diperkenan oleh Allah. Apa pun kejadiannya, mereka menolak menyerahkan putra mereka untuk dieksekusi. Sambil mempertaruhkan nyawa mereka sendiri, mereka memutuskan untuk menyembunyikan dia.

Setelah tiga bulan, orang tua Musa tidak dapat menyembunyikannya lagi. Karena tidak punya pilihan lain, mereka mengambil tindakan. Yokhebed menaruh anak kecil itu di dalam sebuah peti dari papirus dan mengapungkannya di Sungai Nil. Tanpa sadar, Yokhebed sedang memulai sesuatu yang bersejarah!—Keluaran 2:3, 4.

Peristiwa yang Dapat Dipercaya?

Banyak cendekiawan dewasa ini menolak peristiwa-peristiwa itu dan menganggapnya sebagai fiksi. ”Faktanya adalah,” kata Christianity Today, ”tidak ada secuil pun bukti langsung dari arkeologi yang telah ditemukan mengenai [tahun-tahun ketika] putra-putra Israel berdiam sementara di Mesir.” Meskipun mungkin tidak ada bukti langsung secara fisik, ada cukup banyak bukti tidak langsung bahwa catatan Alkitab tersebut dapat dipercaya. Dalam bukunya, Israel in Egypt, Egiptolog (pakar kebudayaan Mesir) James K. Hoffmeier mengatakan,  ”Data arkeologis mempertunjukkan dengan jelas bahwa Mesir sering disinggahi orang Levant [negeri-negeri yang berbatasan dengan Mediterania bagian timur], khususnya akibat problem cuaca yang menimbulkan kemarau . . . Jadi, selama suatu periode kira-kira dari 1800 hingga 1540 SM, Mesir adalah tempat migrasi yang menarik bagi orang-orang berbahasa Semitik dari Asia bagian barat.”

Selain itu, telah lama diakui bahwa uraian Alkitab tentang perbudakan di Mesir memang akurat. Buku Moses—A Life melaporkan, ”Catatan Alkitab tentang penindasan orang Israel tampaknya diteguhkan oleh sebuah lukisan makam dari Mesir kuno yang sering direproduksi yang menggambarkan secara sangat terperinci pembuatan batu bata dari lumpur oleh sekelompok budak.”

 Uraian Alkitab tentang peti kecil yang digunakan Yokhebed juga mengandung kebenaran. Alkitab mengatakan bahwa peti itu dibuat dari papirus, yang, menurut Commentary karya Cook, ”biasa digunakan orang Mesir untuk membuat kapal yang ringan dan gesit”.

Namun, apakah tidak sulit untuk mempercayai bahwa seorang pemimpin bangsa memerintahkan pembunuhan berdarah dingin atas bayi-bayi? Cendekiawan George Rawlinson mengingatkan kita, ”Infantisida . . . telah ada secara luas pada waktu dan di tempat yang berbeda, dan telah dianggap sebagai soal sepele.” Sesungguhnya, kita tidak perlu melihat jauh-jauh untuk menemukan contoh pembunuhan massal yang tak kalah menyeramkannya pada zaman modern. Catatan Alkitab mungkin menggelisahkan, tetapi benar-benar dapat dipercaya.


Penyelamatan Musa—Legenda Kafir?

 Beberapa kritikus menyatakan bahwa penyelamatan Musa dari Sungai Nil tampak mencurigakan karena sangat mirip dengan legenda kuno tentang Raja Sargon dari Akad—cerita yang menurut beberapa orang sudah ada sebelum cerita Musa. Legenda itu juga bercerita tentang seorang bayi dalam keranjang yang diselamatkan dari sungai.

Namun, sejarah sarat dengan kebetulan. Dan, meletakkan anak kecil di sungai mungkin tidak seganjil kelihatannya. Biblical Archaeology Review mengatakan, ”Kita hendaknya ingat bahwa Babilonia dan Mesir kedua-duanya adalah kebudayaan tepi sungai dan bahwa meletakkan bayi dalam keranjang kedap air mungkin adalah cara yang sedikit lebih berterima untuk membuang anak itu daripada melemparkannya ke tumpukan sampah, yang lebih umum. . . . Cerita tentang bayi yang ditemukan lalu menjadi tokoh menonjol mungkin merupakan tema umum cerita rakyat, tetapi alasannya pastilah karena cerita itu berulang kali terjadi dalam kehidupan nyata.”

Dalam bukunya, Exploring Exodus, Nahum M. Sarna mengomentari bahwa meskipun ada beberapa kemiripan, cerita kelahiran Musa berbeda dengan ”Legenda Sargon” dalam ”banyak aspek yang signifikan”. Maka, pernyataan bahwa catatan Alkitab diambil dari legenda kafir hanyalah seperti tong kosong.



Diadopsi ke dalam Rumah Tangga Firaun

Yokhebed tidak membiarkan nasib anaknya ditentukan oleh kebetulan belaka. Ia ”menaruh peti itu di antara batang-batang teberau di tepi Sungai Nil”. Kemungkinan ia berharap agar di tempat inilah peti itu akan ditemukan. Di sini putri Firaun datang untuk mandi, kemungkinan secara rutin. *—Keluaran 2:2-4.

Peti kecil itu segera ditemukan. ”Ketika [putri Firaun] membukanya ia melihat anak tersebut, dan anak laki-laki itu sedang menangis. Melihat itu ibalah hatinya kepadanya, meskipun ia mengatakan, ’Ini salah seorang anak orang Ibrani.’” Putri Mesir itu pun memutuskan untuk mengadopsinya. Nama apa pun yang semula diberikan orang tuanya telah lama dilupakan. Dewasa ini, ia dikenal di seluruh dunia dengan nama yang diberikan ibu angkatnya—Musa. *—Keluaran 2:5-10.

Namun, apakah tidak mengada-ada untuk percaya bahwa seorang putri Mesir akan mengasuh anak semacam itu? Tidak, karena agama orang Mesir mengajarkan bahwa perbuatan baik adalah prasyarat untuk masuk ke surga. Mengenai pengadopsian itu sendiri, arkeolog Joyce Tyldesley mengatakan, ”Wanita Mesir sederajat dengan pria Mesir. Mereka menikmati hak yang sama dalam bidang hukum dan ekonomi, setidaknya dalam teori, dan . . . para wanita dapat mengadopsi anak.” Papirus Adopsi kuno sebenarnya mencatat tentang seorang wanita Mesir yang mengadopsi budak-budaknya. Mengenai mengupah ibu Musa sebagai inang penyusu, The Anchor Bible Dictionary mengatakan, ”Diupahnya ibu kandung Musa untuk menyusui dia . . . mirip dengan pengaturan yang identik dalam kontrak-kontrak adopsi orang Mesopotamia.”

Mengingat ia telah diadopsi, apakah asal usul Musa sebagai orang Ibrani akan disembunyikan darinya sebagai rahasia yang membawa aib? Beberapa film Hollywood telah membuatnya tampak seperti itu. Alkitab menunjukkan hal yang sebaliknya. Kakaknya, Miriam, dengan cerdik mengatur agar Musa disusui oleh ibunya sendiri, Yokhebed. Pastilah wanita yang saleh ini tidak akan menyembunyikan kebenaran dari putranya! Dan, karena anak-anak pada zaman dahulu sering kali disusui selama beberapa tahun, Yokhebed memiliki banyak kesempatan untuk mengajar Musa tentang ’Allah Abraham, Ishak, dan Yakub’. (Keluaran 3:6) Fondasi rohani semacam itu sangat bermanfaat bagi Musa, karena setelah diserahkan kepada putri Firaun, ”Musa diajar tentang segala hikmat orang Mesir”. Pernyataan sejarawan Yosefus bahwa Musa meraih kedudukan sebagai jenderal dalam suatu perang dengan Etiopia tidak dapat dipastikan kebenarannya. Namun, Alkitab memang mengatakan bahwa ”perkataan dan perbuatannya penuh kuasa”. *—Kisah 7:22.

Pada usia 40 tahun, Musa kemungkinan besar siap menjadi pemimpin Mesir yang menonjol. Kuasa dan kekayaan bisa menjadi miliknya seandainya ia tetap berada dalam rumah tangga Firaun. Lalu, terjadilah suatu peristiwa yang mengubah kehidupannya.

 Pengasingan di Midian

Pada suatu hari, Musa ’melihat seorang Mesir memukul seorang Ibrani, yaitu salah seorang dari antara saudara-saudaranya’. Selama bertahun-tahun, Musa telah menikmati keuntungan sebagai orang Ibrani sekaligus orang Mesir. Tetapi, ketika melihat sesamanya orang Israel dipukuli—mungkin bisa menewaskannya—Musa tergerak untuk membuat pilihan yang drastis. (Keluaran 2:11) Ia ”menolak untuk disebut sebagai putra dari putri Firaun, dan memilih untuk diperlakukan dengan kejam bersama umat Allah”.—Ibrani 11:24, 25.

Musa mengambil tindakan yang gesit dan tidak mungkin dibatalkan lagi, ”Ia membunuh orang Mesir itu dan menyembunyikan dia dalam pasir.” (Keluaran 2:12) Ini bukan tindakan seseorang yang ”didorong oleh ledakan amarah seketika”, tandas seorang kritikus. Kemungkinan besar, itu adalah tindakan yang menunjukkan iman—sekalipun salah arah—akan janji Allah bahwa Israel akan dibebaskan dari Mesir. (Kejadian 15:13, 14) Barangkali Musa dengan naif percaya bahwa tindakannya akan memicu bangsanya untuk memberontak. (Kisah 7:25) Namun, betapa kecewanya dia karena rekan-rekan sebangsanya tidak mau mengakui kepemimpinannya. Sewaktu berita pembunuhan itu sampai ke telinga Firaun, Musa terpaksa melarikan diri ke pengasingan. Ia menetap di Midian, menikahi seorang wanita bernama Zipora, putri seorang kepala suku nomadis bernama Yitro.

Selama 40 tahun yang panjang, Musa hidup sederhana sebagai gembala, pupus sudah harapannya untuk menjadi seorang pembebas. Namun, pada suatu hari, ia menuntun kumpulan ternak Yitro ke sebuah tempat dekat Gunung Horeb. Di sana, malaikat Yehuwa menampakkan diri kepada Musa dalam sebuah semak yang bernyala-nyala. Bayangkan situasinya: ’Bawalah umatku, putra-putra Israel, keluar dari Mesir,’ perintah Allah. Tetapi, sewaktu menjawab, Musa bimbang, ragu-ragu, dan tidak percaya diri. ”Siapakah aku,” ia berdalih, ”sehingga aku harus pergi kepada Firaun dan membawa putra-putra Israel keluar dari Mesir?” Ia bahkan menyingkapkan sebuah cacat pribadi yang ditutupi oleh beberapa pembuat film: Ia rupanya memiliki gangguan bicara. Betapa berbedanya Musa dengan para pahlawan dalam mitos dan legenda kuno! Empat puluh tahun menjadi gembala telah merendahkan dan melembutkan hati pria ini. Meskipun Musa merasa tidak percaya diri, Allah yakin bahwa ia cocok untuk menjadi pemimpin!—Keluaran 3:1–4:20.
Pembebasan dari Mesir

Musa meninggalkan Midian dan menghadap Firaun, menuntut agar umat Allah dibebaskan. Sewaktu raja yang keras kepala itu menolak, sepuluh tulah yang menghancurkan pun dikeluarkan. Tulah kesepuluh mengakibatkan kematian putra sulung Mesir, dan Firaun yang kalah telak akhirnya  membebaskan bangsa Israel.—Keluaran, pasal 5-13.

Peristiwa-peristiwa ini dikenal baik oleh sebagian besar pembaca. Tetapi, apakah peristiwa-peristiwa ini sesuai dengan sejarah? Ada yang membantah bahwa karena sang Firaun tidak disebutkan namanya, kisah itu pastilah fiksi. * Namun, Hoffmeier, yang dikutip sebelumnya, mengomentari bahwa para penulis Mesir sering kali sengaja tidak mencantumkan nama musuh-musuh Firaun. Ia berpendapat, ”Pastilah para sejarawan tidak akan membantah keakuratan sejarah operasi militer Tutmose III di Megido meski nama raja-raja Kades dan Megido tidak dicatat.” Hoffmeier memperkirakan bahwa Firaun tidak disebutkan namanya karena ”alasan teologis yang bagus”. Antara lain, dengan tidak menyebutkan nama Firaun, catatan itu menarik perhatian kepada Allah, bukan Firaun.

Sekalipun demikian, para kritikus menolak adanya eksodus orang Yahudi secara besar-besaran dari Mesir. Cendekiawan Homer W. Smith berargumen bahwa kepindahan massal seperti itu ”pastilah akan dilaporkan dengan nyaring dalam sejarah Mesir atau Siria . . . Lebih besar kemungkinannya bahwa legenda eksodus itu adalah catatan yang simpang siur dan mengada-ada tentang pelarian dari Mesir ke Palestina oleh relatif sedikit orang”.

 Memang, catatan Mesir tentang peristiwa ini belum ditemukan. Tetapi, orang Mesir pastilah tidak ragu-ragu untuk mengubah catatan sejarah apabila kebenarannya ternyata memalukan atau berlawanan dengan kepentingan politis mereka. Sewaktu Tutmose III meraih kekuasaan, ia mencoba menghapus kenangan akan pendahulunya, Hatsyepsut. Kata Egiptolog John Ray, ”Inskripsinya dihapus, obelisknya dikelilingi tembok, dan monumennya ditelantarkan. Namanya tidak muncul dalam catatan sejarah yang belakangan.” Upaya serupa untuk mengubah atau menyembunyikan fakta yang memalukan bahkan telah dilakukan pada zaman modern.

Mengenai tidak adanya bukti arkeologis tentang persinggahan di padang belantara, kita harus ingat bahwa orang Yahudi adalah nomad. Mereka tidak membangun kota; mereka tidak bercocok tanam. Dapat disimpulkan, mereka tidak meninggalkan apa pun kecuali jejak kaki. Meskipun demikian, bukti yang meyakinkan tentang persinggahan itu dapat ditemukan dalam Alkitab sendiri. Rujukan tentang hal itu terdapat di seluruh kitab suci tersebut. (1 Samuel 4:8; Mazmur 78; Mazmur 95; Mazmur 106; 1 Korintus 10:1-5) Menarik sekali, Yesus Kristus juga memberikan kesaksian bahwa peristiwa di padang belantara itu benar-benar terjadi.—Yohanes 3:14.

Maka, tidak diragukan lagi bahwa catatan Alkitab tentang Musa dapat dipercaya, merupakan kebenaran. Sekalipun demikian, ia hidup lama berselang. Apa pengaruh Musa terhadap kehidupan Anda dewasa ini?


Siapa yang Menulis Kelima Buku Pertama Alkitab?

Menurut kisah turun-temurun, Musa dianggap sebagai pengarang kelima buku pertama dalam Alkitab, yang disebut Pentateukh. Musa mungkin telah mendapatkan sebagian informasinya dari sumber sejarah yang lebih awal. Namun, banyak kritikus percaya bahwa Musa sama sekali tidak menulis Pentateukh. ”Maka, lebih jelas daripada matahari di siang bolong bahwa Pentateukh bukan ditulis oleh Musa,” tegas filsuf abad ke-17, Spinoza. Pada paruh kedua abad ke-19, cendekiawan Jerman bernama Julius Wellhausen mempopulerkan teori ”dokumentasi”—bahwa buku-buku Musa adalah gabungan karya beberapa pengarang atau tim pengarang.

Musa dengan rendah hati mencatat kegagalannya untuk memuliakan Allah

Wellhausen mengatakan bahwa salah seorang pengarang secara konsisten menggunakan nama pribadi Allah, Yehuwa. Yang lain menyebut Allah ”Elohim”. Yang lain diyakini menulis kaidah keimaman dalam Imamat, dan yang lain lagi menulis Ulangan. Meskipun beberapa pakar telah menerima teori ini selama puluhan tahun, buku The Pentateuch, karya Joseph Blenkinsopp, menyebut hipotesis Wellhausen sebagai teori yang ”dilanda krisis”.

Buku Introduction to the Bible, karya John Laux, menjelaskan, ”Teori Dokumentasi dibangun berdasarkan pernyataan-pernyataan yang bersifat selera pribadi atau kalau tidak, yang sama sekali keliru. . . . Jika Teori Dokumentasi yang ekstrem ini memang benar, berarti bangsa Israel telah menjadi korban penipuan yang tidak masuk akal sewaktu mereka mengizinkan Hukum yang sangat membebani itu diletakkan di atas pundak mereka. Itu akan menjadi penipuan terbesar yang pernah dilakukan di sepanjang sejarah dunia.”

Argumen lain adalah bahwa perbedaan gaya dalam Pentateukh membuktikan adanya banyak pengarang. Namun, K. A. Kitchen menyatakan dalam bukunya Ancient Orient and Old Testament, ”Perbedaan gaya tidak berarti apa-apa, dan mencerminkan perbedaan dalam pokok bahasan tertentu.” Variasi gaya yang serupa dapat juga ditemukan ”dalam teks-teks kuno yang kesatuan kesastraannya sama sekali tidak diragukan”.

Yang khususnya lemah adalah argumen bahwa penggunaan nama dan gelar yang berbeda untuk Allah membuktikan adanya banyak pengarang. Dalam satu bagian kecil dari buku Kejadian saja, Allah disebut ”Allah Yang Mahatinggi”, ”Yang Menjadikan langit dan bumi”, ”Tuan Yang Berdaulat Yehuwa”, ”Allah yang melihat”, ”Allah Yang Mahakuasa”, ”Allah”, ”Allah yang benar”, dan ”Hakim segenap bumi”. (Kejadian 14:18, 19; 15:2; 16:13; 17:1, 3, 18; 18:25) Apakah setiap ayat Alkitab ini ditulis oleh pengarang yang berbeda? Atau, bagaimana dengan Kejadian 28:13, tempat istilah ”Elohim” (Allah) dan ”Yehuwa” digunakan bersama-sama? Apakah dua pengarang bekerja sama untuk menulis satu ayat itu?

Kelemahan jalur penalaran ini menjadi sangat jelas sewaktu diterapkan pada sebuah karya tulis kontemporer. Dalam sebuah buku terbaru tentang Perang Dunia II, kanselir Jerman disebut ”Führer”, ”Adolf Hitler”, dan cukup ”Hitler” dalam rentang beberapa halaman saja. Apakah ada yang berani menyatakan bahwa ini membuktikan adanya tiga pengarang yang berbeda?

Meskipun demikian, variasi-variasi teori Wellhausen terus menjamur. Di antaranya adalah teori yang dikemukakan oleh dua cendekiawan tentang pengarang yang konsisten menggunakan nama pribadi Allah, Yehuwa, tadi. Mereka tidak hanya menyangkal bahwa itu adalah Musa, tetapi juga menegaskan bahwa pengarang ini adalah wanita.